Buat Apa Sholat? |
SAYA tulis rangkaian tulisan sederhana ini untuk beberapa
tujuan:
Pertama
, untuk diri saya sendiri. Umur saya hampir se-
tengah abad saat ini. Tapi, kenikmatan dan penghayatan shalat—
saya memohon ampun kepada Allah—belum benar-benar saya
rasakan. Ter
kadang, meski rasanya saya tak pernah meragukan
kewajiban melakukan shalat dan kebijaksanaan Zat yang me-
wajibkan syariat ini, saya bahkan bertanya-tanya: mengapa sha-
lat demikian ditekankan dalam ajaran Islam dibanding dengan
penanaman dan praktik akhlak mulia, atau aktivitas-aktivitas
konkret melakukan perbaikan dan membantu orang lain di
berbagai bidang kehidupan?
Kedua
, saya mendapati sekelompok Muslim, termasuk di
negeri kita, yang mulai kehilangan keyakinan kepada shalat
sebagai suatu unsur penting dari keislaman seseorang. Orang-
orang yang menyebut diri mereka liberal ini, sampai-sampai
sejauh mempromosikan semacam fideisme Islam. Yakni, ber-
agama, dalam hal ini ber-Islam, sebatas keimanan personal—
dan “rasional”—tanpa ritual-ritual. Buat Apa Sholat?
Ketiga
, saya juga mendapati, di tengah kegairahan orang
kota untuk bertasawuf dan mengikuti berbagai paguyuban
tarekat, ada kecenderungan untuk menekankan spiritualitas
tanpa ritus. Mereka, sebagaimana yang dituduhkan oleh se-
bagian or
ang yang antitasawuf, merasa telah lebih mementing-
kan hakikat (hubungan manusia dengan Allah) daripada sya-
riat (kewajiban-kewajiban ritual)—seolah-olah hakikat sedemi-
kian dapat dicapai tanpa syariat. (Dan seolah-olah para sufi besar
yang menjadi panutan berbagai tarekat itu tak mementing-
kan syariat, khususnya shalat.)
Nah, saya mendapati cara yang paling efektif untuk me-
respons ketiga hal di atas adalah dengan menyajikan suatu
rangkaian tulisan yang dapat menjelaskan hakikat dan makna
shalat yang sebenarnya, lebih dari sekadar memahaminya de-
ngan pemahaman superfisial biasa. Yakni, pemahaman yang,
meski sepenuhnya bersandar pada Al-Quran dan Sunnah,
bersifat rasional, intelektual, dan spiritual. Karena, meski barang-
kali
terkadang ada juga yang mengingkari shalat semata-mata
sebagai wujud sikap
khâlif tudzkar
(berbeda agar diingat),
atau cuma malas saja, sebagian lainnya mungkin memang belum
dapat memahami dan merasakan nilai dan manfaat shalat.
Dari sini, terbayanglah dalam pikiran saya bahwa buku ini,
selain mengungkapkan penafsiran yang lebih menukik terha-
dap ritus shalat, juga menyajikan pandangan para sufi atau
‘ârif
(gnostik, ahli pengetahuan ruhani atau batin), yang tak bisa
dibantah kedalaman perenungan mereka. Penyajian pandang-
an kaum sufi atau
‘ârif
ini sekaligus dapat merespons sedikitnya
dua masalah yang saya sebutkan di awal tulisan ini. Yakni, me-
muasi keperluan personal saya, mengingat saya adalah peminat
dan pengagum pemikiran para sufi seperti ini, dan mengingat
para pengikut tarekat tersebut di atas tak akan dapat meng-
elak dari menghormati pandangan para tokoh ini (kecuali
kalau mereka merasa lebih bijak dari para sufi itu). Saya me-
nyisipkan pula pandangan Ibn Sina yang, meski seorang filosof
yang rasional, dikenal pula dengan kecenderungan sufistik
atau ‘irfaninya.
Dengan mengungkapkan pemahaman seperti ini, diharap-
kan bu
kan saja kita akan dapat menangkap dengan lebih baik
hakikat dan makna shalat, kita dapat juga menginternalisasi-
kan perenungan kaum sufi dan
‘ârif
tersebut di dalam diri kita
agar k
ita benar-benar dapat mengalami pertemuan dengan
Allah Swt. lewat ibadah yang satu ini. Karena, bukankah per-
temuan dengan Allah inilah yang menjadi tujuan puncak pe-
laksanaan shalat, dan juga puncak dari upaya
mujâhadah
kaum
sufi dan
‘ârif
ini? Saya sendiri, ketika menuliskannya, merasa
mendapatkan tambatan yang kuat, dalam pemikiran dan
pandangan kaum sufi ini, bagi upaya untuk dapat melakukan
shalat dengan khusyuk atau dengan kehadiran hati, meng-
ingat—seperti akan dibahas di dalam salah satu tulisan dalam
buku ini juga—kekhusyukan merupakan syarat bagi shalat
yang sesungguhnya.
Namun, jika boleh, baiklah saya sampaikan di sini sedikit
peringatan—saya enggan untuk menyebutnya nasihat—yang
saya petik dari pengalaman saya sendiri. Betapapun secara men-
tal dan spir
itual kita telah mampu sedikit banyak memahami
hakikat dan nilai shalat,
tetap saja suatu disiplin yang kuat
diperlukan untuk ini. Karena, di samping kemampuan pikiran
dan ruhani kita untuk menyugesti tindakan, ada juga kekuatan
lain—biasa disebut sebagai dorongan keburukan atau bisikan
setan—yang akan menghalang-halangi sugesti itu untuk ter-
wujud dalam kenyataan. Disiplin inilah yang perlu terus diasah
dan dilatih agar pada akhirnya jiwa kita benar-benar dapat me-
naklukkan kecenderungan untuk tidak menjalankan ajaran
dari Sang Mahabijak ini. Inilah yang dalam tasawuf disebut
sebagai
riyâdhah
atau
tarbiyah nafsiyyah
(latihan atau pendidikan
kejiwaan).
Mudah-mudahan, dengan pemahaman yang benar, niat
yang kuat, dan disiplin yang merupakan buah dari latihan-
latihan yang keras, Allah akan mengaruniakan kepada kita
penghayatan dan kenikmatan shalat, dan berbagi manfaat yang
dapat k
ita peroleh darinya.
Akhirnya, semoga rangkaian tulisan sederhana ini dapat—
jika orang lain memang mendapatkan manfaat dari membaca-
nya—berguna juga buat diri saya, sekaligus menjadi wasilah bagi
turunnya pertolongan Allah untuk menganugerahkan peng-
hayatan, dorongan kenikmatan, dan manfaat-manfaat shalat
kepada diri saya sendiri
dan keluarga saya.
Taqabbal
, ya Allah! Buat Apa Sholat?
Setapak, KL, 15 Ramadhan 1427 H
Haidar Bagir
Download ebooknya klik : DISINI